Di akhir 2001, saat mengikuti tes kenaikan tingkat/sabuk dari merah muda (jambon) ke sabuk hijau dalam prosesi latihan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Ranting Mojorejo, Jetis, Ponorogo, saya dan para siswa lain dihajar habis-habisan oleh senior kami, para warga PSHT. Fisik rasanya remuk, dan kami hanya bisa misuh-misuh dalam hati akibat “penyiksaan” ini. Hahaha.

Beberapa hari usai digebuki, menjelang latihan rutin kami diajak ngobrol ringan oleh Mas Bashori (Arsya Fauzia) pelatih yang kami cintai karena rasa ngemongnya dan caranya mendidik fisik dan jiwa kami.

“Bagaimana, sakit?”
“Ya, mas.” kami menjawab serentak.

“Ketika kalian merasakan sakit karena pukulan dan tendangan, maka sudah seharusnya kalian berpikir bahwa jangan sembarangan mengumbar amarah, jangan sembrono memukul dan menendang, karena sebagaimana yang kalian rasakan kemarin lusa, ditendang dan dipukul itu sakit. Paham?!”

“Nggih, mas.”

Mungkin karena cara mendidiknya yang baik dan penekanan aspek ruhani dan persaudaraan yang dinomorsatukan, nyaris tidak pernah dijumpai anak didik Mas Bashori yang terlibat bentrokan dengan perguruan lain, apalagi tawuran dengan warga kampung. Dua peristiwa yang sering terjadi, dan sesungguhnya sangat memalukan.

Apa yang saya rasakan: dipukul, ditendang, dan dipulasara sedemikian rupa diam-diam mengendap dalam jiwa bahwa kekerasan tidak bakal menyelesaikan masalah, bahkan riskan menimbulkan masalah baru.

Saya disahkan sebagai Warga PSHT Rayon Mojorejo, Jetis, Ponorogo, 2002. Berat memang menyandang status sebagai warga. Prinsip saya, sebagaimana yang ditekankan oleh para sesepuh PSHT adalah Memayu Hayuning Bawono; Menjaga kedamaian dan stabilitas dunia, serta memberantas sifat angkara murka dan serakah pada diri. Menjadi khalifatullah fil ardl. Berat, dulur.

Juga prinsip lain yang berakar pada falsafah Jawa: Ojo Adigang, Adigung, Adiguna. Jangan sok kuasa, gumedhe, sok sakti. Biasa saja, tawadlu’, menghormati dan menghargai sesama.
Soal makna persaudaraan yang “disalahgunakan”, bagaimana? Ketika ditempa fisik dan mental selama menjadi siswa, saya sadar Esprit de Corps; solidaritas antar siswa dan warga dipupuk sedemikian kuat. Jika ada yang disakiti salah satu, solidaritas bakal muncul. Mungkin ini yang sering dimanfaatkan. Yang pada akhirnya juga melahirkan corak fanatisme baru.

Saya tidak setuju, sekali lagi tidak setuju, jika setiap masalah diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan dan brutalitas bakal melahirkan babak masalah baru yang ribet. Jangan pernah mencari masalah, jika masalah datang, jangan lari, segera cari solusi. Selesaikan. Jangan pernah mencari musuh, tapi jika ada lawan menantang, jangan lari, hadapi. Selesaikan.

Jika kita bisa menyelesaikan masalah dengan damai, tanpa menimbulkan problem baru, maka itulah martabat pesilat sejati. Falsafah bela diri. Hadapi sendiri, dengan jantan dan kesatria, tanpa harus membawa-bawa nama perguruan dengan jumawa. Sungguh, saya salut dengan tipe pendekar, aliran apapun, yang menempuh jalan ini.

Tahun ini PSHT merayakan usia seabad. Ada jutaan warga yang telah disahkan, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Ada banyak warga PSHT yang eksis dengan kiprahnya di berbagai bidang; tentara, polisi, dosen, kiai, juga beberapa pejabat. Di NU sendiri, ada banyak Banser yang juga warga PSHT. Di perguruan tinggi Jatim, ada beberapa warga, selain saya, yang menjadi pimpinan kampus: Mas Dr. Moch Bachtiar Ketua STAI At-Tanwir Bojonegoro, dan Mas Dr. Zainul Arif, Ketua STAI Darul Ulum, Berasan Banyuwangi. Di level pengasuh pesantren, juga banyak.

Di sisi lain, tingkat kepahamaan tentang hakikat ke-SH-an, juga dipengaruhi oleh circle. Kalau yang mendidik dan berada di sekelilingnya itu orang-orang yang hanya berpikir gelut dan dan betah dalam lingkaran kekerasan jadinya ya begitu. Jika yang ada di sekeliling-nya orang-orang yang senantiasa berpikir positif, menjunjung marwah organisasi, dan bagaimana memanfaatkan persaudaraan untuk kemanfaatan, insyaAllah, jadinya ya baik-baik saja. Mas Nur Yasin ( Lintang Samudra Bashara), sahabat sekaligus guru saya sejak di Ponorogo, ini adalah salah satu tipikal warga sejati. Di manapun dia berpijak (Ponorogo, Maluku, Bengkulu, dan kini di Berau Kaltim), wajib bagi dirinya membuka latihan PSHT dan mendidik siswanya dengan pendidikan akhlak, menjaga perdamaian, dan mengkader pesilat tangguh yang tahu diri dan sadar diri. Mas Yasin ini warga PSHT pengesahan 1995, kalau tidak salah. Istrinya juga warga, dan putrinya Bening Mahesa Pertiwi juga dididik sebagai warga PSHT.

Warga lain, Ustadz M Husnaini MA., Ph.D., konco plek saya sejak kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya dan di Pesma An-Nur Wonocolo, yang telah menyelesaikan studi S3-nya di Malaysia. Sedulur lain yang sekampus dan sepondok, Mas Endrik Safudin kini menjadi penulis berbagai buku, dosen IAIN Ponorogo, sekaligus advokat. Menyenangkan sekali punya sedulur yang menularkan vibe positif seperti ini. Konco mondok di Ponorogo, Mas Muhammad Ilham warga 1999, saat ini malah menjadi Ketua GP Ansor Ponorogo.


Soal perusakan dan pengeroyokan, bagi saya ini wilayah hukum. Persaudaraan memang utama, tapi di atasnya ada supremasi hukum yang harus dijunjung tinggi, dan KEMANUSIAAN yang menjadi standar kebermanfaatan. Seseorang menjadi sampah masyarakat, atau menjadi permata masyarakat, ditandai sejauh mana dia bisa menjadi manusia seutuhnya dan memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya.
Siapapun anda, warga PSHT atau bukan, setuju atau tidak dengan prinsip saya, monggo. Anda punya prinsip, saya juga. Tak perlu saling memaksa.


Tatkala Markesot belajar silat kepada pendekar Mataram, alih-alih diajari ilmu menggunakan tombak, dia malah dicekoki ilmu filosofi tombak.

“Semakin panjang tombak seseorang,” kata pendekar itu, “berarti makin rendah ilmunya. Orang yang lemah, memerlukan alat yang panjang, sepanjang mungkin untuk melindunginya. Orang yang agak sakti, cukup pendek saja tombak pelindungnya. Orang yang top kesaktiannya, tak memerlukan senjata. Ia cukup hidup dengan tangan kosong.”

Tangan kosong adalah tangan yang jujur dan apa adanya. Tangan yang tak menggenggam apa-apa, tak memiliki apa-apa, tak dibebani apa-apa. Justru karena itu, pendekar tangan kosong malah disegani, karena ia telah menyelesaikan urusan dengan dirinya, dengan egonya.
Emha Ainun Nadjib, dalam “Markesot Bertutur”.

(Tulisan tahun 2022, merayakan 1 Abad PSHT, 2002-2022).
Wallahu A’lam Bisshawab

Tulisan oleh: Mas Rijal Mumazziq Z
Warga PSHT Pengesahan 2002, Rayon Mojorejo, Jetis, Ponorogo
Rektor Universitas Al-Falah As-Sunniyyah (INAIFAS) Jember