Pusaka adalah warisan berharga yang diteruskan dari generasi ke generasi, mencakup beragam benda dan tradisi yang memiliki nilai historis, budaya, dan kadang-kadang spiritual.

Pusaka bisa berupa artefak sejarah, seperti barang antik, senjata kuno, atau benda-benda bersejarah lainnya yang memiliki nilai sentimental bagi suatu keluarga atau komunitas.

Namun, pusaka juga mencakup pengetahuan tradisional, kisah-kisah leluhur, lagu-lagu adat, dan praktik kepercayaan yang diwariskan dari masa lalu, memperkaya identitas budaya suatu bangsa atau etnis. Pusaka sering kali dijaga dengan hati-hati sebagai bagian penting dari warisan budaya yang harus dilestarikan dan dihormati.

Karena pentingnya pusaka, maka tokoh senior PSHT Provinsi Jawa Tengah Kangmas Nurhadi Abas, menggelar kegiatan Jamasan Pusaka di Padepokan PSHT Magelang, Selasa (30/04/2024).

Menurut Kangmas Abas, kegiatan pertemuan itu, merupakan kegiatan rutin di Padepokan PSHT Magelang. Yang diikuti para kadang warga junior dan senior, untuk menambah wawasan dan khasanah keilmuan PSHT.

“Pertemuan rutin disini sejak tahun 2017. Kegiatan-kegiatan di Magelang ini merupakan kegiatan untuk kadang tingkat dua senior maupun junior, juga yang sedang proses menuju tingkat dua dimana nantinya akan menggantikan kita, bahkan ada warga tingkat 1 yang sudah sepuh,” terang Kangmas Abas.

“Dulu kita rutin kumpul disini dua miggu sekali. Jadi disini kita menambah wawasan tentang pencak silat ajaran. Selain itu juga kita beri wawasan tentang Setia Hati. Selain itu kita sampaikan juga segala hal yang berhubungan tentang budaya dalam pencak silat itu sendiri, seprti halnya jamasan,” sambungnya.

Terkait Jamasan Pusaka, menarik untuk dipelajari, karena pusaka itu dianggap penting dalam tradisi masyarakat Jawa. Maka penting juga bagi para kadang warga yang merupakan bagian dari masyarakat berbudaya, untuk mengetahui tentang itu.

“Jamasan sering kita dengar saat di kraton, maupun hotel-hotel berbintang sehingga saya tertarik, kenapa kadang warga yang sudah senior, tidak mengerti tentang jamasan pusaka. Maka saya mengundang Gus Amrul yang sudah ahli dalam bidang ini untuk memberikan wawasan kepada kadang warga yang belajar disini,” jelasa Kangmas Abas.

Selanjutnya, rencana lain kedepan, Kangmas Abas akan melaksakan pelatihan terapi untuk menanggulangi baik siswa maupun atlet yang cidera saat latihan.

“Kedepannya kita juga akan mengundang terapis, untuk penanganan cidera para atlet. Harapannya jika kadang sepuh didatangi kadang muda jika menanyakan tentang pusaka dan menganggapnya klinik, maka saya datangkan narasumber yang mengerti tentang ilmu agama yaitu gus amrul untuk menjelaskan secara lengkap,” ungkapnya.

“Selain kadang warga dari Magelang, juga ada dari purworejo, wonosobo, sragen, semarang, yogyakarta, karanganyar, kudus, batang, dan sebagainya. Beberapa waktu yang lalu saya ajak juga Mas Sukisno dari Tangerang Selatan untuk jadi narasumber disini, melengkapi materi langkah,” tambah Kangmas Abas.

Sementara Mas Karim Amrullah selaku Narasumber dari Boyolali mengatakan, karena kekurangan informasi masyarakat soal pusaka ini, menyebabkan berpikiran yang negatif terhadap pusaka. Maka penting bagi warga PSHT mengetahui tentang pusaka dan cara merawatnya.

“Minimnya informasi tentang pusaka, membuat orang mempunyai persepsi sendiri tentang pusaka. Mungkin itu dianggap musyrik karena bertentangan dengan keyakinannya. Bisa juga dianggap kuno karena sudah tidak mewakili jamannya. Padahal saat kita bicara pedang excalibur milik orang luar negeri, mendengar ceritanya saja kita terkagum. Kita melihat pedangnya salahuddin al ayubi kitak akan terheran-heran, padahal kita sendiri punya budaya, senjata, pusaka yang tidak kalah dengan mereka. Tapi karena minimnya informasi dan tidak tersebar luasnya cerita nenek moyang kita tentang kehebatan pusaka ini, membuat kita jadi asing dengan sejarah budaya sendiri. Berawal dari keprihatinan itu saya mulai untuk mengajak saudara kita untuk melestarikan budaya ini, bangga terhadap budaya ini, sehingga kita tidak menjadi asing di negeri sendiri.
Njamasi atau mencuci pusaka memang bukan materi di PSHT, tapi melestarikan budaya adalah tanggung jawab semua anak bangsa, termasuk insan setia hati. Jadi kita niatkan sebagai pelopor untuk melestarikan budaya sendiri. Toh dalam panca dasar ana yang namanya kesenian. Dan pusaka juga bagian dari seni budaya.
Jamasan arti sebenarnya adalah membersihkan. Membersihkan pusaka dari kotoran baik itu karat, minyak, atau apapun yang bisa mempercepat proses aus atau rusak. Jadi kalau kita tarik ke arah isoteri atau pemahaman pendalaman menjamasi atau mewarangi adalah mengembalikan fungsi keris sebagaimana mestinya.karena jika kita salah dalam prosesnya, maka akan ada suatu hal lain yang masuk dalam pusaka tersebut, sehingga pusaka tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Proses njamasi yang kliru bukannya akan mengembalikan fungsi pusaka tersebut, melainkan malah akan menghancurkan bilah,” beber Gus Amrulah.

Sedangkan Mas Tulus Wahyudi salah satu peserta dari Cabang Karanganyar mengungkapkan rasa syukurnya bisa menjadi bagian dari kegiatan yang digagas Kangmas Abang itu. Baginya sangat bermamfaat, selain menjalin silaturahmi, menjadi ajang penambah wawasan keilmuan Setia Hati.

“Saya mengikuti pertemuan di sini sejak awal latihan tingkat 2, jadi sudah sekitar enam tahun. Kadang sebulan sekali, 2 minggu sekali, bahkan pas masih awal bisa seminggu sekali. Saya tertarik mengikuti sarasehan-sarasehan disini, karena saat siswa dulu baru materi dasar yang saya terima, dan belum ada tingkat 2 di cabang kami. Sehingga pendalaman keilmuan belum bisa dibuka secara luas. Kemudian qodarullah saat berlatih tingkat 2 bisa bertemu mas abas dan banyak hal baik itu pencak maupun ajaran yang bisa saya gali lebih dalam lagi. Untuk materi malam ini, pada awalnya saya masih menganggap seperti halnya orang awam melihat pegang pusaka itu klenik, musyrik, atau syirik. Kemudian setelah kami belajar disini tentang materi pusaka, maka pengetahuan kami berkembang lagi, ternyata tidak sesempit apa yang masyarakat pahami. Terbuka wawasan saya bahwa pusaka ini bagian dari budaya kita. Sehingga ada yang namanya adat untuk memegang keris, membuka keris dari warongkonya bukan bermaksud untuk menyembahnya. Tapi ini bentuk penghormatan bahwa si pembuat keris ini juga luar biasa, dengan tirakat, doa, dan harapan baik para empu pembuat pusaka tersebut. Dari sini saya belajar agar tidak anti pati terhadap budaya sendiri,” tutup Mas tulus.