Proses hukum terkait gugatan kubu Mas Murjoko terhadap Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia kembali memasuki tahap mediasi.

Sidang kali ini digelar di Pengadilan Negeri Bandung, pada Kamis (9/10/2025), dan berlangsung dalam suasana yang penuh dinamika, serta memperlihatkan posisi moral dan sikap masing masing pihak.

Mediasi sejatinya menjadi ruang untuk merajut kembali persaudaraan, namun kali ini justru menampilkan sejumlah peristiwa yang disebut banyak pihak sebagai cerminan dari siapa yang berpijak pada kebenaran hukum, serta siapa yang sesungguhnya membawa kegaduhan dalam tubuh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) selama ini.

1. Insiden Tak Terduga “Sebagai Isyarat Alam”

Sidang diwarnai kejadian mengejutkan ketika salah satu tokoh bergelar akademik yang hadir, tiba tiba mendadak jatuh dari kursi hingga harus diganti dengan kursi lain oleh majelis.

Peristiwa itu dianggap sebagian hadirin sebagai “peringatan alam”, simbol bahwa ada kekuatan yang menunjukkan arah kebenaran dan mengungkap siapa yang selama ini menimbulkan kegaduhan organisasi

2. Tudingan Wajah Baru Kuasa Hukum, Siapa Sebenarnya yang Tak Paham Sejarah?

Kuasa hukum penggugat sempat menyebut barisan kuasa hukum tergugat sebagai “wajah baru”, namun fakta historis membantah pernyataan tersebut, di antaranya kangmas Bambang telah menjadi kuasa hukum organisasi PSHT sejak tahun 2017.

Didampingi oleh Mas Welly, Mas Agung, dan Mas Samsul, yang selama ini aktif menjaga marwah dan legalitas organisasi, lagipula, ini bukan tentang soal wajah lama atau baru, melainkan siapa yang benar benar berkompeten dalam menangani situasi hukum.

Pertanyaan kemudian muncul, “Siapa sebenarnya yang baru datang dan tidak memahami sejarah panjang organisasi?”

3. Keberatan Mediasi Principal, Mengabaikan Makna Persaudaraan?

Kuasa hukum penggugat menyatakan keberatan terhadap mediasi bersama dua principal utama, yaitu Kangmas Dr. Ir. Muhammad Taufiq, S.H., M.Sc. dan Mas Murjoko di mana sikap ini dinilai kontradiktif.

Bagaimana mungkin bicara rekonsiliasi, namun enggan duduk bersama saudara sendiri? Sikap tersebut dipandang banyak pihak sebagai ketidakpahaman akan makna luhur “Persaudaraan Sejati” yang menjadi dasar ajaran PSHT, sekaligus panca dasar yang pertama yaitu “Persaudaraan”.

4. Sikap Mas Murjoko : Diam, Kuasa Hukum Dominan

Sepanjang mediasi, Mas Murjoko terlihat pasif dan lebih banyak diam, justru kuasa hukum mereka yang tampil terlalu dominan, seolah menjadikan ruang mediasi sebagai arena debat.

Padahal, esensi atau makna terdalam dari mediasi adalah ruang antar principal, bukan panggung retorika kuasa hukum. Hal ini memunculkan kesan kuat bahwa arah gerak kubu tersebut tidak lagi dikendalikan oleh nilai persaudaraan, melainkan kepentingan lain di luar organisasi.

5. Agenda Sidang Selanjutnya

Majelis hakim menetapkan bahwa proses mediasi akan kembali dilanjutkan dalam dua minggu mendatang, harapan besar tertuju pada pertemuan berikutnya, agar mediasi tidak menjadi panggung konflik berkepanjangan, tetapi benar-benar menjadi jalan menuju penyelesaian yang bermartabat.

Landasan Legalitas Tak Terbantahkan

Sebagai catatan penting, Negara melalui Surat Keputusan Menkumham RI Nomor AHU-06.AH.01.43 Tahun 2025, telah sah mengukuhkan Dr. Ir. Muhammad Taufiq, S.H., M.Sc. sebagai Ketua Umum PSHT yang diakui secara hukum.

SK tersebut sekaligus membatalkan badan hukum lama, menutup ruang bagi klaim yang tidak sah, mengingat secara Yudikatif, Mahkamah Agung selaku lembaga pengadil tertinggi telah mengeluarkan Putusan Hukum yakni Peninjauan Kembali atau PK 68, yang kemudian ditindaklanjuti Menkum.

Rilis ini ditulis dan disusun sebagai fakta perkembangan persidangan dan komitmen menjaga martabat Persaudaraan Setia Hati Terate.

Salam Persaudaraan

Dipublikasikan oleh Humas PSHT Pusat